1. Kesejahteraan & Martabat Guru
Guru di Jakarta hidup dalam paradoks: mereka digadang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah titel yang sangat problematik karena pahlawan bukanlah profesi, melainkan tumbal dalam suatu perjuangan. Guru adalah pekerjaan, sebagaimana software engineer, bangkir, konsultan, polisi, koki. Mereka tidak butuh tanda jasa, tetapi butuh gaji dan kehidupan yang layak.
Banyak guru honorer yang gajinya tak cukup bahkan untuk sekedar sewa kos di kota ini. Beban administratif menumpuk, tapi waktu mengajar berkurang.
Ketika guru dipaksa bertahan, murid kehilangan arah.
Kualitas guru juga menurun, karena talenta terbaik bangsa berlomba kerja di SCBD dan enggan menjadi pendidik.
💡 Gagasan:
- Kesejahteraan guru = kualitas murid.
- Reformasi insentif, pelatihan, dan penghargaan berbasis dampak, bukan senioritas.
2. Ketimpangan Akses & Kualitas Sekolah
Sekolah negeri unggulan terkonsentrasi di pusat kota, sementara anak-anak di wilayah padat penduduk belajar di ruang sempit dan panas.
Kesenjangan fasilitas membuat anak-anak lahir di lintasan yang berbeda — bukan karena kemampuan, tapi karena alamat.
💡 Gagasan:
- Distribusi anggaran pendidikan berbasis kebutuhan, bukan politik.
- Peningkatan fasilitas di sekolah menengah dan SD di wilayah marginal (Jakarta Utara, Timur).
- Sistem afirmatif untuk siswa miskin dan migran kota.
3. Pendidikan Vokasional & Dunia Kerja
Ribuan lulusan SMK di Jakarta tidak terserap industri setiap tahun.
Mereka dilatih untuk pekerjaan yang sudah tidak ada, sementara peluang baru belum pernah diperkenalkan.
SMK seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan, bukan lorong pengangguran.
💡 Gagasan:
- Kemitraan aktif SMK–industri.
- Program magang berbasis wilayah industri lokal.
- Kurikulum fleksibel berbasis tren pekerjaan masa depan.
4. Pendidikan Inklusif & Keadilan Sosial
Anak disabilitas masih sering ditolak secara halus. Guru belum dibekali keterampilan mengajar inklusif. Jakarta yang adil tidak boleh meninggalkan satu pun anak di belakang.
💡 Gagasan:
- Mengembangkan sekolah sentra (SLB) yang kuat dan modern sebagai pusat keahlian, riset, dan pelatihan guru.
→ SLB menjadi “resource hub” bagi sekolah umum di sekitarnya. - Membangun sistem sekolah inklusif secara bertahap
→ Dimulai dari sekolah negeri unggulan, lalu meluas ke sekolah di wilayah lain. - Membentuk tim pendamping inklusif di tiap kecamatan
→ Bukan hanya guru, tapi juga psikolog, terapis wicara, dan relawan masyarakat.